Senin, 11 Juli 2011

Pro Kontra Pembentukan BPJS Sarat Dengan Kepentingan

JAKARTA - Polemik seputar pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Indonesia belum mencapai titik temu , berbagai komentar dan pandangan menambah riuhnya suasana , target pengesahan Rancangan UU BPJS saat ini sudah memasuki masa injury time. Pengesahan yang direncanakan berakhir pada 9 Juli 2011 itu, diundur menjadi 22 Juli 2011. Anggota Komisi IX DPR, Riekie Diah Pitaloka, menilai molornya pembahasan itu terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah salah satunya yaitu koordinasi buruk dari kinerja delapan kementerian di bawah koordinasi Menteri Keuangan Agus Martowardojo.
Sekretaris Jenderal KAJS, Said Iqbal, mengatakan, transformasi empat BUMN tersebut wajib untuk dilakukan karena sudah tertuang dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). "Itu (transformasi) harus dibentuk sebagai badan hukum publik dengan sembilan prinsip penyelenggaraan jaminan sosial menurut pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Oleh karena itu, bagi kita transformasi keempat BUMN tersebut merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi baik oleh pemerintah maupun DPR," tutur Iqbal dalam konferensi pers di Gedung YTKI, Jakarta, Minggu (10/7/2011). Ditambahkan Iqbal, transformasi tersebut juga telah sesuai dengan penjelasan umum UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), yang menyatakan BPJS adalah transformasi dari BPJS yang sekarang sedang berjalan, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri, PT Askes.
Selain itu, dalam pasal 52 ayat (2) UU SJSN pun menjelaskan, semua ketentuan yang mengatur mengenai empat BUMN tersebut, harus disesuaikan dengan dengan UU BPJS. "Jadi dengan kata lain, kalau ada beberapa pihak yang mengatakan transformasi keempat BUMN ke BPJS itu sulit dilakukan, itu hanya omong kosong. Berbagai ketentuan yang mengatur tentang empat BUMN itu, secara terang-terangan sudah menyatakan operasional yang jelas," kata Iqbal.
Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur Jazuli Keinginan pemerintah agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), bersifat penetapan serta bukan wali amanah, bukan harga mati. Pada pembahasan di bersama di DPR, prinsip yang terbaik bisa diperbaiki bersama. Sebab, pada dasarnya, pemerintah juga mempunyai  itikad baik untuk menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional. “ Terhadap usulan kita agar BPJS berbentuk wali amanah, bukan BUMN dan bersifat pengaturan, dan bukan harga mati , usulan itu bisa dibicarakan lagi dan sikap pemerintah bisa diperbaiki, tandas Jazuli, yang juga aktivis Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Jawa Timur.
Abdul Latif Algaff, Ketua Fsp BUMN  mengatakan , kiranya Pemerintah dan DPR dapat membuka hati dan pikiran agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menentukan arah Jaminan Sosial di Indonesia. Menurutnya , agenda neoliberal sudah jelas dan nyata dalam pembahasan rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Karena sejak lama ada perebutan pengaruh antara Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan lembaga keuangan global lainnya dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO).Lembaga keuangan global ini tentu melihat program jaminan sosial sebagai arena permainan mesin finansial. Sedangkan ILO lebih menjalankan program proteksi sosial-ekonomi terhadap pekerja. Lolosnya konsep dua BPJS yang disodorkan Kementerian Keuangan dan dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) RUU BPJS DPR memastikan terlibatnya kekuatan neoliberal dalam merumuskan skenario format masa depan jaminan sosial di Indonesia.
 
Mungkin pada saat pembahasan RUU BPJS merupakan saat yang tepat dan sudah lama ditunggu oleh antek-antek neoliberal. Tentunya untuk menghancurkan empat BPJS yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT Askes (Persero), dan PT Asabri (Persero).
Implementasi UU SJSN yang seharusnya berpijak pada desain program, perluasan cakupan dan mekanisme pembiayaan justeru berujung pada usaha-usaha delegitimasi sistematis terhadap empat BPJS. Secara cerdas, agen neoliberal ini meracuni kaum sosialis dungu yang tidak paham akar sejarah, ideologi dan konteks jaminan sosial, baik paraktek jaminan sosial di level nasional maupun pertarungan ideologis jaminan sosial di tingkat global.
Bagaimana mungkin penyelenggaraan jaminan sosial akan ditarik dari otoritas negara. Padahal kita mengetahui akar historis jaminan sosial justru, karena faktor kegagalan mekanisme pasar (market failure). Bahkan sistem kapitalisme bisa bertahan karena ditopang oleh sistem jaminan sosial yang dapat melindungi buruh dari eksploitasi kaum pemodal.
Namun, mereka yang ingin melaksanakan SJSN mendesak agar negara bertanggung jawab atas pembiayaan jaminan sosial. Tapi, anehnya mereka menuntut agar negara tidak bertanggung jawab dan melepaskan otoritas dalam penyelenggaraannya.
Bayangkan saja, di negara-negara kampiun neoliberal, seperti Amerika Serikat dan Inggris, penyelenggara jaminan sosial tetap di tangan negara. Karena itu, di semua belahan dunia, jaminan sosial merupakan benteng terakhir dari kedaulatan ekonomi politik suatu bangsa ,tetapi di Indonesia, tampaknya kaum sosialis dungu telah diperdaya kaum neoliberal. Salah satunya, dengan menyediakan proteksi dasar oleh negara melalui cara yang tidak lazim yaitu membongkar empat BPJS ke arah yang tidak jelas. Bahkan, dengan mengabaikan desain program dan pembiayaan yang tidak terjangkau.
Ketika negara telah mengucurkan program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) - layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dan tidak mampu - tapi dinilai salah dan bukan jaminan sosial. Padahal, jaminan sosial itu terdiri dari asuransi sosial dan bantuan sosial, di mana kedua program jaminan sosial ini secara administratif dan finansial dipisahkan.  “ Saya yakin, perubahan bentuk kelembagaan BPJS hanya lah sasaran antara, dan tujuan sejatinya adalah hilangnya otoritas negara dalam jaminan social , bahkan, kalau bisa BUMN penyelenggara jaminan sosial itu bisa lepas dan terkapar kemudian dikuasai asing. Seperti Indosat serta BUMN bidang pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan industri strategis lainnya.’ Ujar Latif .
Latief mengingatkan , agar hati hati terhadap adanya  sponsor dan donator asing dari kekuatan neoliberal yang bertebaran, baik jadi pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis serikat pekerja, aktivis LSM, intelektual, dan pengusaha.
Regulasi empat BPJS yang sudah berjalan baik dan terbukti unggul terus dikritik dan dibenturkan dengan status badan hukumnya, harus non-BUMN. Bahkan, mereka tidak malu setiap saat berubah pandangannya. Kemarin bilang wali amanat, hari ini badan hukum publik, dan istilah lainnya. Besok seperti bank sentral, lusa seperti lembaga penjamin simpanan (LPS) dan lembaga penjamin ekspor Indonesia (LPEI).
Padahal, di dunia ini hanya dikenal ada dua bentuk BPJS, yaitu lembaga pemerintah/kementerian atau dikelola secara korporasi. Jadi, status badan hukum BUMN justru sangat tepat dan relevan. Ini karena mengakomodasi dua model penyelenggaraan jaminan sosial dan terbukti melayani peserta dengan baik. Selain itu memberi benefit yang bagus kepada peserta, kinerja dan pengelolaan dana yang berkelanjutan, menjalankan praktik tata kelola yang baik (good governance), dan tidak memberatkan anggaran negara.
Apabila RUU BPJS yang saat ini digodok pemerintah dan DPR bermaksud melebur empat BPJS, pasti menimbulkan gejolak dan dampak sistemik yang luar biasa dalam perekonomian nasional. Ini juga akan mengarah pada ketidakpastian dan ketidakpercayaan publik terhadap BPJS.
 
“ Kita akan menyaksikan sebuah tragedi reformasi jaminan sosial yang jauh melenceng, seperti yang diamanatkan konstitusi. Kalau boleh mengutip kata-kata Vladimir Putin, mereka yang mau menghancurkan empat BPJS itu tidak punya hati, dan jika pemerintah dan parlemen mau juga menghabisi empat BPJS berarti tidak punya kepala.
Terkait dengan wacana yang berkembang atas pembahasan SJSN di DPR, Direktur Utama PT.Jamsostek ( Persero ) H.Hotbonar menilai pemerintah hendaknya menyesuaikan skemanya dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik yang ada. skema yang sering dikembangkan di suatu negara berkembang adalah mekanisme asuransi sosial dan bantuan sosial untuk memastikan tidak ada satu pendudukpun yang jatuh ke dalam jurang kemiskinan. "Umumnya, kedua mekanisme tersebut dilakukan secara terpisah," kata Hotbonar.
Dia juga mengingatkan bahwa program jaminan sosial merupakan salah satu kebijakan investasi sosial yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor growth) dan berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan.
Di sisi lain, jaminan sosial juga memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menghancurkan sistem perekonomian suatu negara ketika sistem yang ada menjanjikan perlindungan manfaat yang terlalu besar. Kondisi itu terjadi karena tidak terjadi keberlangsungan (sustainabilitas) yang panjang, sistem tidak fleksibel, pengaturan tidak adil dan saling tumpang tindih.
Oleh karena itu, kata Hotbonar, diperlukan perencanaan yang sangat hati-hati dalam mendisain produk dan manfaat perlindungan, khususnya untuk program-program jangka panjang yang memiliki konsekwensi pendanaan dan kewajiban jangka panjang [leo-bmb]
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar