Jumat, 13 Mei 2011

BPJS Kental Nuansa Kepentingan

 JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang dibahas di Komisi IX DPR RI dinilai kental dengan nuansa kepentingan politik maupun golongan. bahkan terkesan melenceng dari materi subtansif. Pembahasan BPJS antara Pemerintah dengan DPR masih alot. Pasalnya, pemerintah mengizinkan pembentukan serta aturan yang mengatur BPJS yang juga ditetapkan dalam RUU. Pembahasan lain yang belum mendapatkan titik temu terkait status BPJS apakah berbentuk BUMN atau non BUMN, BPJS tunggal atau beberapa BPJS serta aspek keuangan. Hal ini untuk memastikan bahwa secara fiskal, pelaksanaan BPJS dapat ditopang oleh anggaran dan belanja negara.

Di seluruh dunia sangat bervariasi mengenai model penyelenggaraan program jaminan sosial, "no one single system, no one size fit for all".Karena itu,sangat terbuka bagi pilihan-pilihan mengenai bentuk badan hukum yang dikehendaki. Pilihan badan hukum program jaminan sosial di Indonesia adalah BUMN karena pemerintah masih memandang BUMN relatif masih solid dan akuntabel, sedangkan kekuatan publik masih belum relatif berdaya(empower). Jadi kalau negara mau melepaskan otoritas dalam pengelolaan jaminan sosial, perlu dikalkulasi secara cermat tingkat kesiapan dan konsolidasinya.

Kondisi saat ini terkesan ada perebutan kepentingan dalam pembahasan RUU BPJS, berlarut-larutnya perdebatan tentang status hukum BPJS merupakan bukti nyata kentalnya nuansa kepentingan.Namun, hasilnya hingga saat ini tetap saja tidak ada kemajuan dan para pihak yang memiliki kepentingan terus berdebat, semestinya reformasi jaminan sosial haruslah bertitik tolak pada cakupan pelayanan, desain program, kapasitas fiskal, serta tata kelola. Namun yang diributkan hingga saat ini masih terkait status dan jumlah BPJS. Hal ini diungkapkan ketua umum serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Abdul Latif Algaff di acara peringatan HUT ke-12 Serikat Pekerja Jamsostek (SPJ), di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, (13/5).

"Apabila hal ini berlarut-larut dan selalu saja kepentingan yang mengemuka dan mengabaikan aspek teknis. Ini justru akan memperburuk upaya mereformasi jaminan sosial yang diinginkan. Karena itu,jika mencermati draft RUU BPJS versi DPR, yang mana terdapat sejumlah poin yang bertentangan dengan substansi UU Nomor 40 Tahun 2010 tentang SJSN.
'jika kami cermati, substansi UU SJSN banyak kelemahannya secara fundamental. Fakta empirisnya jelas, karena UU SJSN masih dikaji kembali di mahkamah konstitusi," ucap Latif yang juga mantan ketua umum serikat pekerja PT Jamsostek (SPJ), ini.

Masih kata Latif, kalau mau jujur sebenarnya bentuk korporasi relatif lebih maju dibandingkan dengan bentuk badan hukum lainya, misalnya dalam hal regulasi,governance, efisiensi, produktivitas, ukuran-ukuran kehasilan kunci, organisasi & tanggung jawab yang jelas. Faktanya, 4 BPJS yang berbentuk badan hukum BUMN terus menunjukan kinerja yang baik, regulasiyang jelas,standar good governance yang tinggi, menjaga keamanan dan pengembangan dana investasi, sehingga dapat memberikan benefit yang bagus kepada peserta Bukankah saat ini di seluruh dunia cenderung menuju enterpreneurial government. Karena badan-badan publik cenderung boros dan menghabiskan anggaran, tandasnya.

Pemerintah berjanji akan segera menyelessaikan RUU BPJS yang hingga saat ini masih terhambat, pada pemasalahan daftar inventarisasi masalah(DIM). Permasalahan DIM sudah dibahas pada level menteri dan sedang menunggu fatwa mahkamah agung.
Pembicaraan RUU BPJS , khususnya DIM, akan dilaksanakan sesuai dengan kondisi masa kini. Yang paling utama pemerintah dan DPR sepakat untuk mendiskusikan. Namun, kita akan susun dulu dalam bentuk DIM, dan ini akan kita bahas. Saya ingin tegaskan status terakhir belum bisa diinformasikan. Tapi niat pemerintah dan DPR akan mendiskusikan DIM, kata menteri keuangan Agus Mantowaedojo. [Leo-bmb]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar